Menelusuri Jejak Masjid Tertua Di Tolitoli

Sebuah masjid berlantai dua dilengkapi lima kuba hijau di atasnya berdiri kokoh di Kawasan Malosong, sebuah kompleks perkampungan orang keturunan Tionghoa di Kelurahan Baru.

Namanya masjid Jami, salah satu masjid tertua di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Masjid ini merupakan salah satu sejarah peradaban umat Islam di daerah bekas kesultanan Ternate itu.

Masjid dengan luas bangunan 35 x 45 meter persegi itu telah bersentuhan dengan bahan bangunan impor dari Singapura sekitar tahun 1936. Berlantai marmer yang didatangkan dari Singapura oleh saudagar kopra dari Tolitoli.

"Awalnya masjid ini hanya berukuran 11 x 13 meter, tapi sudah berlantai marmer yang dibeli dari Singapura oleh orang-orang tua kami dulu," kata Husen H Abd Hafid, seorang tokoh masyarakat setempat.

Husen mengenal banyak sejarah masjid tersebut karena kakeknya, alm Lahuseng, adalah imam pertama sejak masjid tersebut didirikan. Lahuseng menjadi imam sejak tahun 1936-1957. Dari tangan Lahuseng inilah masjid Jami berdiri kokoh dengan satu kubah besar di tengah masjid tersebut.

Sebelum diangkat menjadi Imam, Lahuseng sudah menjadi saudagar kopra dengan sasaran penjualan Pulau Jawa dan Singapura. Hasil penjualan kopra tersebut sebagian dibelikan marmer dan bahan bangunan lainnya lalu diboyong pulang ke Tolitoli.

"Kalau dagangan mereka berlaba (untung,red) masih jauh dari pantai kapal yang mereka gunakan berlayar sudah membunyikan meriam. Itu tandanya mereka berlaba," kata Husen menceritakan.

Awalnya masjid itu berbentuk langgar yang terbuat dari papan kayu dibangun tahun 1926. Lokasinya sekitar 200 meter di bibir pantai Susumbolan, sebuah kawasan pasar terpadu dalam kota yang di dalamnya terdapat pasar, terminal, tempat pendaratan ikan, panggung hiburan seni bahkan kawasan kuliner.

Tempat ini menjadi pemandangan menarik. Tempo dulu hampir seluruh kawasan yang mencakup empat kelurahan disebut dengan Kampung Baru. Disinilah awalnya masjid dibangun dalam bentuk langgar sekitar tahun 1926.

"Waktu itu belum ada masjid yang dibangun kecuali langgar di pantai itu," kata Husen.

Dari sejarah itulah katanya bisa dipastikan bahwa Masjid Jami merupakan salah satu masjid tertua di daerah produsen cengkeh tersebut.

Jauh sebelum masjid tersebut dibangun, Husen memperkirakan Islam sudah masuk dan tersebar sekitar abad ke-18 M. Salah satu bukti yang menguatkan kata Husen adalah adanya sebuah Alquran yang ditulis tangan oleh guru Kannu tahun 1212 hijriah.

"Guru Kannu adalah guru mengaji dari Tanimbar Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Dia menitipkan Alquran itu melalui Nahkoda Gantele," kata Husen.

Gantele konon kabarnya adalah seorang nahkoda kapal dari Bone pindah ke Tolitoli. Ia mendarat di Kalangkangan, sebuah desa sekitar enam kilomter arah utara Tolitoli. Gantele bersama pasukannya kemudian masuk ke Kampung Baru (sekarang menjadi lokasi masjid Jami dan sekitarnya) dan berhasil memukul mundur orang-orang Mindanau, Filipina, yang menguasai Kampung Baru ketika itu.

"Dari Gantele dan pasukannya akhirnya kemudian berkembang hingga sekarang. Itulah sebabnya di lokasi sekitar masjid Jami didominasi suku Bugis," kata Husen.

Nama masjid Jami sebetulnya sudah beberapa kali mengalami perubahan nama. Menurut Ketua Ta`mir Masjid Jami, Hasan Patongai, pertama kali masjid itu disebut masjid Kampung Baru. Kemudian berubah menjadi Masjid Taqwa.

Tidak bertahan dengan nama Masjid ini, lalu berubah lagi menjadi Masjid Raya. Karena ada aturan nama Masjid Raya hanya digunakan untuk masjid tingkat kabupaten, maka sejak saat itulah namanya berubah menjadi Masjid Jami.

Agar masjid ini terurus dengan baik, tahun 1984 s/d November 1986 dibentuklah Yayasan Masjid Jami. Abd Rahman Said, salah satu tokoh pendiri yayasan, sekaligus sebagai ketua yayasan pertama.

Masjid Jami yang sekarang tampak megah bukan lagi desain asli Masjid Jami tempo dulu. Masjid Jami hari ini sudah mendapat sentuhan teknologi modern dengan pemugaran total yang pembangunannya dilakukan sejak tahun 1987.

Marmer yang merupakan buah karya dari imam Masjid pertama kini sudah tidak tampak lagi. Marmer itu ditimbun lalu dijadikan lokasi parkir.

Beberapa bangunan seperti menara tempat muadzin mengumandangkan adzan jika tidak ada lagi. Menurut Husen, jika muadzin (dulu disebut Bilal) hendak adzan harus naik ke atas menara yang terbuat dari kayu. Lalu di atas menara itulah muadzinnya melafalkan adzan dengan menggunakan corong yang terbuat dari seng plat.

Sebagai tanda bahwa adzan akan dikumandangkan, lebih dulu petugas menabuh beduk. Sekarang suara beduk itu tak terdengar lagi.

Salah satu tempat yang dinilai masih memiliki nilai sejarah hanyalah sebuah sumur kecil, terletak di samping masjid. Tidak ada juga bukti-bukti sejarah kapan sumur itu dibangun.

Tetapi menurut Husen, pada tahun 1982 dimana Tolitoli ketika itu terjadi musim kemarau, sumur ini justru airnya meluap. Sumur ini dianggap memiliki nilai sejarah maka dilestarikanlah hingga saat ini.

"Sumur ini dulunya pernah ditutup tetapi dibuka kembali. Orang-orang keturunan Tionghoa yang ada di sekitar lokasi masjid tidak rela jika sumur itu ditutup karena dulu mereka mengambil air dari sumur itu," kata Hasan Patongai.

Siapakah imam pertama di masjid tertua itu? Tidak ada juga bukti-bukti tertulis. Tapi masih banyak diantara pendiri yayasan yang mengingatnya. H Lahuseng adalah imam pertama ( 1936-1957), menyusul H Hamzah (1957-1962), H Ahmad Mahmuda (1962-1964), H Abdullah Mahmuda (1964-1970), H Abdullah Nusu (1970-1975), KH. Hasan Tahir (1975-1980), Moh H Kasim (1980-1982), KH Moh Tahir (1982), Usman H Abu (1983-1984), H Abdul Hakim Bandi (1984), H Firdaus M Husen (1988 s/d 2006), Muhdar M Amir, S.Pdi (2007-2008) dan Moh Sabran (2008 s/d sekarang).

Dari 12 imam masjid Jami tersebut alm. H Firdaus M Husen paling lama, terhitung sejak 1988 s/d 2006. Almarhum meninggal dunia bulan Ramadhan 1927 H lalu.

Dulu yang menunjuk imam masjid disebut dengan Kadi. Kadi adalah pakar hukum agama. Kadi pertama kali di Tolitoli ketika itu bernama H. Mahmuda.

Kadi mempunyai peran penting, tidak saja menunjuk imam, tapi juga menentukan kapan dimulainya puasa dan lebaran. Ketika seorang Kadi misalnya, menetapkan lebaran hari raya Idul Fitri jatuh pada hari Sabtu, maka seluruh kewedanaan Tolitoli mengikutinya.


Sumber : beritadaerah.com

Tidak ada komentar: